Assalamu'alaikum Sahabatku Dunia Islami,
Hari
berganti hari, tahun berganti tahun, tiada terasa begitu banyak hal-hal
yang telah kita perbuat, sedangkan usia semakin menggiring kepada
kematian, tapi tidak seorang pun dari kita yang mengetahui apakah
amalannya diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau justru ia
tertolak sehingga menjadi orang yang merugi.
Pergantian
tahun merupakan momen penting bagi kita untuk introspeksi (muhasabah),
melihat kembali apa yang telah kita kerjakan pada masa yang lalu untuk
berbuat lebih baik di sisa waktu.
Semoga tulisan kali
ini dapat memberi sedikit pencerahan kepada kita dalam meningkatkan
kualitas iman dan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
amiin.
Muhasabah (menghisab) diri ada dua macam: menghisab sebelum berbuat dan menghisab sesudahnya.
Adapun
yang pertama (menghisab sebelum berbuat) adalah berfikir pada awal
perencanaan dan kehendaknya dan tidak langsung berbuat sampai jelas
baginya mana yang baik, melakukan rencananya atau meninggalkannya.
Al
Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata, “Allah merahmati seseorang yang
berfikir pada awal perencanaannya, apabila (rencananya itu) karena Allah
ia lanjutkan, dan apabila karena selainnya ia tinggalkan.”
Sebagian
ulama menjabarkan hal ini: apabila jiwa seseorang tergerak mengerjakan
sesuatu, hendaknya ia merenung dan mengamati apakah rencananya itu dalam
batas kesanggupannya atau tidak?
Apabila ia di luar
batas kesanggupannya, hendaknya ia berhenti. Sedangkan apabila masih
dalam batas kesanggupannya, hendaknya ia merenung dan mengamati kembali,
apakah menjalaninya yang lebih baik ataukah meninggalkannya.
Apabila
jawabannya yang kedua, hendaknya ia meninggalkannya dan tidak
menjalaninya. Sedangkan apabila jawabannya yang pertama, ia merenung dan
mengamati sekali lagi, apakah motivasinya mengharapkan wajah Allah Azza
Wa Jalla dan pahala-Nya atau mengharapkan kedudukan, pujian dan harta
dari makhluk?
Apabila jawabannya yang kedua, hendaknya
ia tidak menjalaninya meskipun rencananya membantunya meraih
harapan-harapannya, agar jiwanya tidak terbiasa dengan kesyirikan
sehingga menjadi ringan baginya berbuat bukan karena Allah, karena
semakin ringan bagi seseorang berbuat demikian semakin berat pula
baginya berbuat karena Allah Ta’ala, hingga ikhlas menjadi perkara yang
terberat bagi dia.
Sedangkan apabila jawabannya adalah
yang pertama, ia merenung dan mengamati lagi apakah faktor-faktor yang
memudahkan terpenuhi, ia memiliki rekan-rekan yang siap membantu atau
membelanya, apabila rencananya tersebut membutuhkan orang-orang yang
membantunya?
Apabila ia tidak memiliki rekan-rekan yang
membantunya, hendaknya ia menahan dirinya sebagaimana Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabar dari berjihad di Makkah sampai ia memiliki
kekuatan dan shahabat-shahabat yang membelanya. Dan apabila ia memiliki
rekan-rekan yang menolongnya, silahkan ia lanjutkan karena sesungguhnya
ia akan menang.
Keberhasilan tidak akan pergi kecuali
dari orang yang menelantarkan salah satu dari perkara-perkara ini,
karena kapan perkara-perkara di atas terpenuhi pada seseorang
keberhasilan pasti menyertainya.
Ini adalah empat
tingkatan, seseorang perlu menghisab dirinya pada tingkatan-tingkatan
tersebut sebelum berbuat. Karena tidak semua yang ingin dilakukan
seseorang, di dalam batas kesanggupannya. Dan tidak semua yang ia
sanggupi, mengerjakannya lebih baik dari meninggalkannya.
Dan
tidak semua yang mengerjakannya lebih baik dari meninggalkannya,
seseorang mengerjakannya karena Allah. Dan tidak semua yang niatnya
karena Allah faktor-faktor pendukungnya terpenuhi. Apabila seseorang
menghisab dirinya di atas empat tingkatan ini jelaslah baginya mana yang
harus ia kerjakan dan mana yang harus ia tinggalkan.
Yang
kedua: Menghisab diri sesudah berbuat. Dan hal ini ada tiga macam:Yang
pertama, menghisab diri atas suatu ketaatan yang usai ia kerjakan namun
ia kurang memenuhi hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala padanya, sehingga ia
belum menunaikannya dalam bentuk yang seharusnya.
Dan
hak Allah di dalam suatu amalan ketaatan ada enam macam: ikhlas dalam
berbuat, totalitas dalam beribadah kepada-Nya, mencontoh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam pelaksanaannya, mengakui segala
karunia dan anugrah-Nya dan setelah itu mengakui kurangnya dia dalam
memenuhi semua itu.
Maka ia menghisab dirinya apakah ia telah memenuhi hak tingkatan-tingkatan ini?
Apakah ia sudah mendatangkan itu semua dalam ketaatan yang telah ia kerjakan ini?
Kedua, menghisab diri atas setiap perbuatan yang telah ia kerjakan, namun meninggalkannya lebih baik dari melakukannya.
Ketiga,
menghisab dirinya atas perkara mubah atau kebiasaan yang telah ia
kerjakan, kenapa ia kerjakan? Apakah ia mengerjakannya karena
mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat?
Sehingga
ia menjadi orang yang beruntung, atau mengharapkan dunia dan
kesenangannya yang sesaat, sehingga ia merugi tidak beruntung!
Disusun Oleh :Abu Amina Alanshariy
Sumber :
Kitab Mawaridul Aman Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah
Kitab Mawaridul Aman Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah